2021: Belajar Menjadi Arsitek Kembali

Tahun 2021 saya dilalui dengan suka dan duka. Kita semua tahu bahwa Covid-19 semakin mengganas di tahun ini. Bulan Juli adalah bulan dengan kasus Covid-19 tertinggi dengan kasus harian mencapai lebih dari 50.000 jiwa. Saudara saya yang tinggalnya persis depan rumah juga terpapar Covid-19. Tampaknya bulan tersebut adalah bulan yang begitu memilukan bagi saya di tahun ini.

Namun, apabila saya melihat tahun 2021 secara keseluruhan, tampaknya rasa suka jauh lebih besar dibandingkan rasa dukanya. Bagaimana tidak? Alhamdulillah, di tahun 2021 ini keluarga kecil saya mendapat rezeki yang luar biasa besarnya. Kami tidak pernah mengira bahwa tahun ini kami bisa tinggal di rumah milik pribadi, tidak mengontrak lagi. Selama setahun ini kami sibuk untuk mendesain dan merenovasi rumah.

Impian semua arsitek adalah bisa mendesain rumahnya sendiri. Walaupun saya tidak mendesain rumah ini dari nol, saya tetap bahagia bisa mengubah rumah lama ini menjadi baru sesuai selera saya dan suami. Saya juga bahagia karena bisa terlibat langsung dalam proses pembangunan. Saya belajar banyak sekali hal-hal yang tidak saya pelajari saat kuliah. Jika dulu saya belajar menuangkan ide saya ke dalam gambar, sekarang saya belajar mewujudkan gambar saya menjadi bangunan yang nyata.

Saya Belajar untuk Mendesain Sebuah Rumah

Mungkin ini terlihat lucu, ya, lah emang sebelumnya ga bisa mendesain rumah? Tentu bisa, dong! Namun, tiap lahan/rumah tentu memiliki permasalahannya masing-masing. Hal ini membuat saya harus selalu belajar dan meng-upgrade ilmu. Untuk rumah saya, hal yang paling utama dalam menentukan desain adalah budget. Kalau punya dana yang banyak tentu maunya rumah ini dirobohkan saja semuanya lalu dibangun ulang. Akan tetapi kenyataan tidak seindah itu.

Keterbatasan dana membuat saya harus berpikir keras bagian mana saja dari rumah ini yang harus dipertahankan dan mana yang benar-benar harus diganti (mengingat rumah ini sudah berumur 15 tahun dan tidak pernah ditinggali). Misal, seluruh kusen rumah saya harus diganti karena sudah mulai lapuk, tetapi dindingnya dipertahankan sebanyak mungkin karena masih bagus. Saya juga harus berpikir keras untuk mempersiapkan rumah ini menjadi rumah tumbuh. Kalau ada dananya sih maunya langsung bangun rumah dua lantai. Akan tetapi karena dana terbatas, saya harus memikirkan apa saja yang perlu direnovasi sekarang juga dan apa yang bisa direnovasi nanti. Misal, atap rumah saya sebetulnya sudah kurang bagus, tetapi lebih baik saya rombak nanti saja sekalian ningkat rumah daripada atapnya sekarang diganti lalu pas ningkat rumah atapnya dibongkar lagi. Inilah gunanya arsitek dalam mendesain rumah.

Saya Belajar untuk Membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB)

Saya baru merasakan RAB sepenting itu saat saya merenovasi rumah sendiri. Jika dana yang dimiliki terbatas, tentu desain yang kita mau harus dihitung dahulu kisaran harganya. Jangan sampai desainnya udah fix cakep cucok dengan selera klien tetapi pas dibangun eng ing eng biayanya dua kali lipat dari dana yang ada. Selain itu, dengan adanya RAB, kita jadi ada pegangan harga saat bertemu dengan tukang. Kita bisa nego jika harga penawaran dari tukang berbeda jauh dari RAB. Tukang yang oke adalah tukang yang mau ngasih RAB versi dia dan mau berdiskusi untuk mencapai kesepakatan harga.

Tetapi, sayangnya saya tidak pernah belajar membuat RAB. Seingat saya, sih, tidak ada materi RAB saat kuliah dulu, kecuali diajarkannya saat saya bolos kuliah πŸ˜† Untungnya saat saya mulai bingung harus mulai bikin RAB darimana, tiba-tiba muncul iklan di Instagram saya, “Kelas belajar RAB”. Waw, kebetulan sekali! Biaya pendaftarannya Rp300.000. Harga tersebut cukup murah jika dibandingkan dengan ilmu dan materi yang didapat, tetapi terasa mahal karena ternyata sistem kelasnya sangat tidak efektif (kelas dimulai akhir desember 2020, baru selesai September 2021 kalau tidak salah πŸ˜’). Yah, setidaknya berkat kelas tersebut, saya akhirnya bisa membuat RAB rumah saya sendiri.

Saya Belajar untuk Mencari Tukang yang Oke

Pernah dengar curhatan emak-emak tentang susahnya mencari ART yang oke? Oh ternyata mencari tukang yang oke juga sama susahnya. Izinkan saya curhat di sini ya.

Rumah yang saya beli berada di Depok, sedangkan pada saat itu saya masih tinggal di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Terbayang dengan jelas betapa jauhnya saya dengan rumah yang mau direnovasi. Sebagai gambaran, kalau saya bolak balik dari Kelapa Gading-Depok-Kelapa Gading naik taksi online, saya bisa menghabiskan biaya setengah juta (nangis di pojokan 😭). Hal ini membuat saya hanya bisa mengontrol rumah seminggu sekali. Sisanya saya kontrol lewat telepon dan chat.

Berdasarkan pengalaman ini, saya menyadari bahwa ada dua hal yang paling penting saat mencari tukang: mandor dan handphone. Jika kita tidak bisa mengecek ke lapangan setiap hari, kehadiran mandor menjadi wajib hukumnya. Mandor ini kerjanya untuk mengawasi tukang agar kerjanya sesuai dengan gambar/keinginan klien. Tentu ada biaya tambahan untuk membayar mandor, tetapi biaya tersebut sebanding dengan hasil yang didapatkan. Jangan sampai menyesal seperti saya yang tidak pakai mandor ya πŸ˜†

Kalaupun tidak bisa pakai mandor karena keterbatasan dana seperti saya, setidaknya pastikan tukangnya punya handphone yang bisa dihubungi kapan saja! Kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam renovasi rumah saya mayoritas karena susahnya berkomunikasi dengan tukang. Tukang saya mempunyai handphone yang dipakai bersama dengan istrinya. Selama dia kerja, handphone-nya dipakai oleh sang istri sehingga saya baru bisa menghubungi tukang saat dirinya di rumah (saat istirahat dan pulang kerja). Sudahlah saya hanya bisa mengecek rumah seminggu sekali, ditambah sulitnya berkomunikasi dengan tukang, hasilnya yaahhh alhamdulillah rumah masih bisa ditinggali walaupun desainnya banyak yang tidak sesuai.

Rasanya ingin saya ceritakan semua drama tukang yang terjadi, tetapi tampaknya bisa sangat panjang. Mungkin di tulisan yang berbeda, ya!

Saya Belajar untuk Bisa Segera Mengambil Keputusan

Sebagus dan sedetail apapun desain yang dibuat, pasti ada saja masalah yang muncul saat desainnya diterapkan di lapangan. Biasanya, kesalahan tersebut baru diketahui saat menggali/menghancurkan bagian yang tidak terlihat saat survey sebelumnya. Dalam kasus rumah saya, saya baru mengetahui ternyata sumur yang ada sudah kering. Saya harus segera mengambil keputusan, memilih antara mencari tukang bor sumur tetapi proses renovasi terhambat atau memasang air PDAM saja tetapi tidak tahu berapa lama proses pengajuan saluran baru.

Pengambilan keputusan ini sebaiknya dilakukan oleh arsitek (dalam hal ini ya saya sendiri) karena tentu saja dia yang mendesain. Maka dari itu, jika menggunakan jasa arsitek, pastikan arsiteknya bisa in-charge saat pembangunan rumah. Carilah arsitek yang rumahnya memang di lokasi proyek.


Itulah kira-kira ilmu baru yang saya dapatkan selama setahun ini. Sebetulnya masih banyak hal yang belum saya ceritakan. Insya Allah saya lanjutkan di tulisan yang berbeda ya! Stay tuned!

Tulisan ini ditulis dalam rangka memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog dengan tema Pelajaran Hidup Tahun 2021

15 thoughts on “2021: Belajar Menjadi Arsitek Kembali

  1. Agitha, ahahaha, mungkin begitu ya, saat ada topik RAB, adalah saat Agitha ga masuk.
    Nah iya Agitha, sering saya mendengar masalah tukang yang kurang optimal dan sulit dipercaya. Sampai sampai orang Jawa membuat singkatan TuKang dengan ‘MeTu MberangKang” yang artinya keluarnya sambil merangkak karena saking banyaknya bahan material yang ‘dikorupsi’ sampai jalan berdiri pun susah.
    Semoga segera mendapat tukang yang sesuai harapan ya Agitha. Rumah idaman pun bisa jadi dengan baik dan lancar. πŸ™‚
    Nanti kalau jadi menulis masalah TUKANG, dishare di WAG ya. Ehehe. Nuhuuun πŸ™‚

    Like

  2. wih, jadi penisirin rumahnya teh Agitha.. ada postingan tentang rumah ga? #ngarep.com Selamat ya teh.. saya juga dah lama desain, bahkan udah ganti berkali2 tapi dananya yg belum ada saat ini.. alias masih nabung hehe..

    Like

  3. RAB ada kok mata kuliahnya *perasaan sih gitu, meskipun sampai sekarang aku nggak bisa hitung RAB. Hahhaa.. tapi kebayang teh, pasti campur aduk ya mikirin rumah sendiri. Karena design dan kenyataan itu emang sering tidak sejalan. Hebat teteh! Setelah proyek ini bakal jadi arsitek yang makin paham semua aspek. Jempol, Teh!

    Like

  4. RAB ini harus banget ya teh kalau mau bangun rumah. Udah ada RAB aja masih sering kelimpungan overbudget.hahaha. Setuju banget masalah tukang. Handphone dan kemudahan berkomunikasi, ternyata nggak semua tukang punya. Jadi ingat pusing kepala baca WA tukang.hehe.

    Ditunggu posting hasil bangun rumahnya ya teh!

    Like

  5. Hai teh! Saya pikir kalo anak arsitek bikin rumah akan jauh lebih mudah, ternyata engga juga yah. πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†. Apa yang teteh ceritain di atas mengingatkan apa yang saya alami ketika renov rumah dulu. Mirip-mirip ceritanya teh. Tapi teteh keren banget sih bikin RAB sampe ikut kelas. Kalau dulu, paksu bikin RAB, minta contoh dr temennya yang pemborong trus dikulik-kulik sendiri aja. Hehee.

    Like

    1. sedikit lebih mudah karena rantai komunikasi klien-arsitek-mandor-tukang bisa lebih pendek jadi arsitek-mandor atau arsitek-tukang, tapi drama tukang mah akan selalu ada hahaha. Saya bela2in ikut kelas RAB agar bisa dapat harga yang terupdate, krn RAB tiap taun akan berubah terus harganya

      Liked by 1 person

Leave a reply to chupauchup Cancel reply